Puluhan pemuda dari seluruh penjuru Tanah Air berkumpul di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Secara sadar, mereka bergandengan tangan. Menyadari bahwa persatuan di atas perbedaan merupakai rantai kuat guna mencapai tujuan. Sumpah Pemuda yang mereka ikrarkan kala itu tetap diperingati hingga hari ini.
Delapan puluh sembilan tahun berlalu, Semangat Sumpah pemuda harus terus mengalir. Meski kolonialisme sudah berlalu, bukan berarti tak ada tantangan baru. Globalisasi menerpa Indonesia. Mengancam para pemuda kehilangan jati diri. Ditambah adanya badai digital, membuat para pemuda merendahkan negeri sendiri. Namun tidak dengan pemuda-pemuda ini. Mereka adalah pemuda Indonesia yang tidak hanyut dalam terpaan badai digital. Mereka bahkan menunggangi badai untuk membuat Indonesia lebih baik.
Di tengah badai, ketiga pemuda ini bisa dikatakan sebagai para pejuang digital. Melalui startup besutannya, mereka menjadikan teknologi sebagai senjata untuk memajukan Indonesia baik dari sisi ekonomi maupun kemudahan akses. Untuk itu, tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda, Sabtu (28/10/2017), KompasTekno mengulas profil singkat 3 pemuda pejuang digital di Indonesia.
1. William Tanuwijaya, Founder dan CEO Tokopedia
Lahir di Pematang Siantar, 35 tahun lalu, William Tanuwijaya pergi ke Jakarta untuk kuliah. Ia memilih jurusan Teknik Informatika di Universitas Bina Nusantara sebagai tempatnya mengenyam pendidikan. Guna menambah uang saku dan menambah biaya kuliah, ia rajin mencari pekerjaan sampingan. Ia bahkan pernah bekerja sebagai penjaga warnet dengan jam kerja sebanyak 12 jam per hari.
Setelah lulus, William bermimpi untuk bekerja di Google. Apa daya pada akhirnya ia hanya dapat bekerja sebagai karyawan di salah satu kantor pengembang software komputer. Di tengah dp bbm tahun baru 2018 kesibukannya, terbersit ide William untuk memiliki perusahaan teknologi sendiri.
Ia lantas mengajak temannya, Leontinus Alpha Edison, untuk mendirikan platform startup jual beli. Idenya berawal dari keinginannya untuk mempertemukan dan memberikan iklim jual beli online yang sehat di seluruh Indonesia. William yakin dengan idenya. Tahun 2007, ia mencari investor untuk membiayai Tokopedia.
Perjuangannya meyakinkan investor selama 2 tahun akhirnya berhasil. Pada tahun 2009, Tokopedia resmi berdiri. Saat ini, Tokopedia telah menjadi startup unicorn dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS. Tokopedia bahkan pernah menerima penghargaan sebagai marketplace terbaik pada tahun 2016.
2. Achmad Zaky, CEO dan Founder Bukalapak
Achmad Zaky lahir di Sragen 31 tahun lalu. Sejak kecil, pria yang akrab disapa Zaky ini memang akrab dengan teknologi. Pada tahun 1997, pamannya kerap memberikan asupan buku pemrograman. Belum lagi saat mengenyam pendidikan di SMA. Ia dp bbm natal 2017 pernah mewakili SMA 1 Solo dalam Olimpiade Sains bidang komputer dan menang hingga tingkat Nasional.
Meski orangtuanya menginginkan Zaky menjadi PNS, takdir berkata lain. Zaky tetap menyelami ketertarikannya di bidang teknologi. Pada tahun 2004, ia memutuskan untuk menjadi mahasiswa Teknik Informatika ITB. Selama menjadi mahasiswa, ia memiliki segudang prestasi. Ternyata, Zaky tidak cukup puas dengan statusnya. Ia mulai berpikir untuk mendapatkan hal yang lebih bernilai. Ia mulai berpikir untuk berbisnis.
Beragam bisnis dilakoni. Mulai dari warung mie hingga software house. Pada akhirnya, di tahun 2010, ia berjuang di dunia digital dengan mendirikan Bukalapak untuk membantu para pengusaha UMKM memasarkan dagangan mereka. Menurut penuturan Zaky, pelaku UMKM sering mengeluh karena dagangannya kurang laku. Keberadaan Bukalapak disambut baik dengan pelaku usaha. Pada tahun 2011, pengguna Bukalapak sudah mencapai 10.000. Para pedagang pun mensyukuri keberadaan Bukalapak karena dagangan mereka bisa laku dan menjangkau pasar lebih besar. Saat ini, Bukalapak juga telah menjadi salah satu marketplace terbesar di Indonesia sekaligus deretan startup unicorn di Indonesia.
3. Nadiem Makarim, CEO Gojek
Meski lahir di Singapura, jiwa nasionalisme Nadiem Makarim tak perlu diragukan. Setelah mengambil jurusan master bisnis di Universitas Harvard, Inggris, Nadiem kembali ke Indonesia untuk mewujudkan mimpinya sebagai pebisnis. Namun di kondisi Indonesia saat itu memang memprihatinkan. Terlebih transportasi. Kemacetan menjadi momok tersendiri bagi mereka yang tinggal di Ibu Kota. Itulah sebabnya, Nadiem lebih memilih ojek sebagai sarana transportasi harian.
Melalui kebiasaannya, ia mengamati perilaku tukang ojek. Profesi ini masih termarginalkan saat itu. Mereka mendapatkan penghasilan harian dengan nominal yang sedikit. Nadiem pun sms tahun baru 2018 memikirkan jalan keluar untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Dari itulah ia mendapat ide untuk mengawinkan jasa ojek dan teknologi. Itulah awal mula kelahiran Go-Jek. Pada awalnya Go-Jek sempat mengalami penolakan. Namun berkat kesabaran dan perjuangan Nadiem melobi tukang ojek, Go-Jek diterima dan tersebar di seluruh Indonesia. Sama seperti Tokopedia dan Bukalapak, Go-Jek juga masuk ke jajaran startup unicorn dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS.